Thursday, December 6, 2012

Remaja Risda Membangun Usaha dalam Kesederhanaan

Bekal pendidikan standar dan ketiadaan modal usaha tidak menjadikan sekelompok remaja dan pemuda ini putus harapan. Dalam kebersamaan yang positif, terbentuklah ide-ide kreatif untuk membangun fondasi ekonomi untuk masa depan mereka.
Hanif Ilhami (19), Diro Tri Saputra (18), dan rekan-rekannya di Jalan Tridharma Utama, Kampung Pulo, Pondok Labu, Jakarta Selatan, tergabung dalam Remaja Islam Nurul Hidayah (Risda). Kebersamaan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk memperdalam ilmu agama dan menggelar kegiatan-kegiatan rohani. Perkumpulan yang berpusat di Mushala Nurul Hidayah itu juga menjadi ajang untuk mendiskusikan masa depan. Dari diskusi tersebut terlahir ide untuk membuka usaha bersama.
"Kami memilih berdagang telur asin karena ini yang paling mudah dan murah," kata Hanif saat ditemui Kompas.com di lokasi usaha mereka di Jalan Tridharma Utama V, RT 05 RW 12, Pondok Labu, Kamis (6/12/2012).
Dito dipilih sebagai ketua bidang usaha Risda. Dalam kegiatan pengolahan telur sehari-hari, Dito dan Hanif dibantu dua rekan mereka, Lutfie Al Amin (20) sebagai Ketua Risda dan Agung Wicaksana (22). Adapun anggota lain, yang rata-rata masih berusia sekolah, akan membantu jika ada waktu luang. "Untuk pemasaran, semua teman-teman Risda ikut terlibat," ujar Dito.
Ia menjelaskan, semula ada beberapa bidang usaha yang menjadi bidikan mereka, antara lain bisnis sablon dan pengolahan barang bekas. Namun, keputusan terakhir diambil berdasarkan faktor finansial, ringannya modal, dan risiko usaha. Uniknya, semua itu mereka pelajari dari buku, bukan dari kursus atau pendidikan khusus lain.
Kemandirian usaha
Selain karena berasal dari keluarga sederhana, Hanif dan rekan-rekannya tidak ingin merepotkan orang lain, termasuk orangtua mereka masing-masing. Tak ada suntikan dana dari pihak luar, pun tak ada proposal bantuan keuangan yang diedarkan ke kalangan mampu. "Semuanya pakai dana sendiri. Dana awal dari jualan barang bekas," kata Hanif.
Mereka mengumpulkan barang-barang bekas yang tak terpakai dari rumah-rumah warga sekitar. Barang-barang tersebut langsung diuangkan dengan diantar ke tukang barang bekas. Setelah beberapa pekan, dana yang terkumpul mencapai Rp 1,5 juta. Uang tersebutlah yang dijadikan modal awal usaha mereka.
"Telur bebek kami pesan dari Tangerang, kemudian diantar ke sini. Sumbernya agak jauh, tapi harganya lebih murah dan kualitasnya lebih bagus," kata Dito.
Rumah Dito di Jalan Tridharma Utama V dipilih sebagai lokasi pengolahan telur asin. Dari berbagai cara yang dipelajari dari buku, mereka mengolah seribu butir telur yang dibeli setiap bulan. Hasil pengolahan telur, yang dibeli seharga Rp 1.500/butir, itu kemudian dipasarkan dengan harga Rp 2.500-Rp 3.000 per butir. "Dipotong biaya pengolahan, masih dapat keuntungan antara Rp 700-Rp 1.000 (per butir). Jadi kami dapat sekitar Rp 700.000 sampai Rp 1 juta dalam sebulan," papar Hanif.
Keuntungan usaha kemudian dibagi tiga. Bagian pertama diperuntukkan sebagai uang saku atau uang jasa bagi anggota Risda. Bagian kedua diperuntukkan bagi kas organisasi, terutama untuk mendukung kegiatan kerohanian. Bagian ketiga menjadi modal untuk melanjutkan usaha produksi telur asin.
Dito dan Hanif saat ini belum memiliki pekerjaan tetap. Oleh karena itu, keduanya bisa fokus pada usaha yang dikelola bersama Risda. "Harapannya sih ini bisa terus berkembang dan bisa menjadi mata pencaharian kami," ujar Hanif.

Sumber : kompas

0 comments:

Post a Comment