Bekal pendidikan standar dan ketiadaan modal usaha tidak menjadikan
sekelompok remaja dan pemuda ini putus harapan. Dalam kebersamaan yang
positif, terbentuklah ide-ide kreatif untuk membangun fondasi ekonomi
untuk masa depan mereka.
Hanif Ilhami (19), Diro Tri Saputra (18),
dan rekan-rekannya di Jalan Tridharma Utama, Kampung Pulo, Pondok Labu,
Jakarta Selatan, tergabung dalam Remaja Islam Nurul Hidayah (Risda).
Kebersamaan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk memperdalam ilmu agama
dan menggelar kegiatan-kegiatan rohani. Perkumpulan yang berpusat di
Mushala Nurul Hidayah itu juga menjadi ajang untuk mendiskusikan masa
depan. Dari diskusi tersebut terlahir ide untuk membuka usaha bersama.
"Kami memilih berdagang telur asin karena ini yang paling mudah dan murah," kata Hanif saat ditemui Kompas.com di lokasi usaha mereka di Jalan Tridharma Utama V, RT 05 RW 12, Pondok Labu, Kamis (6/12/2012).
Dito
dipilih sebagai ketua bidang usaha Risda. Dalam kegiatan pengolahan
telur sehari-hari, Dito dan Hanif dibantu dua rekan mereka, Lutfie Al
Amin (20) sebagai Ketua Risda dan Agung Wicaksana (22). Adapun anggota
lain, yang rata-rata masih berusia sekolah, akan membantu jika ada waktu
luang. "Untuk pemasaran, semua teman-teman Risda ikut terlibat," ujar
Dito.
Ia menjelaskan, semula ada beberapa bidang usaha yang
menjadi bidikan mereka, antara lain bisnis sablon dan pengolahan barang
bekas. Namun, keputusan terakhir diambil berdasarkan faktor finansial,
ringannya modal, dan risiko usaha. Uniknya, semua itu mereka pelajari
dari buku, bukan dari kursus atau pendidikan khusus lain.
Kemandirian usaha
Selain
karena berasal dari keluarga sederhana, Hanif dan rekan-rekannya tidak
ingin merepotkan orang lain, termasuk orangtua mereka masing-masing. Tak
ada suntikan dana dari pihak luar, pun tak ada proposal bantuan
keuangan yang diedarkan ke kalangan mampu. "Semuanya pakai dana sendiri.
Dana awal dari jualan barang bekas," kata Hanif.
Mereka
mengumpulkan barang-barang bekas yang tak terpakai dari rumah-rumah
warga sekitar. Barang-barang tersebut langsung diuangkan dengan diantar
ke tukang barang bekas. Setelah beberapa pekan, dana yang terkumpul
mencapai Rp 1,5 juta. Uang tersebutlah yang dijadikan modal awal usaha
mereka.
"Telur bebek kami pesan dari Tangerang, kemudian diantar
ke sini. Sumbernya agak jauh, tapi harganya lebih murah dan kualitasnya
lebih bagus," kata Dito.
Rumah Dito di Jalan Tridharma Utama V
dipilih sebagai lokasi pengolahan telur asin. Dari berbagai cara yang
dipelajari dari buku, mereka mengolah seribu butir telur yang dibeli
setiap bulan. Hasil pengolahan telur, yang dibeli seharga Rp
1.500/butir, itu kemudian dipasarkan dengan harga Rp 2.500-Rp 3.000 per
butir. "Dipotong biaya pengolahan, masih dapat keuntungan antara Rp
700-Rp 1.000 (per butir). Jadi kami dapat sekitar Rp 700.000 sampai Rp 1
juta dalam sebulan," papar Hanif.
Keuntungan usaha kemudian
dibagi tiga. Bagian pertama diperuntukkan sebagai uang saku atau uang
jasa bagi anggota Risda. Bagian kedua diperuntukkan bagi kas organisasi,
terutama untuk mendukung kegiatan kerohanian. Bagian ketiga menjadi
modal untuk melanjutkan usaha produksi telur asin.
Dito dan Hanif
saat ini belum memiliki pekerjaan tetap. Oleh karena itu, keduanya bisa
fokus pada usaha yang dikelola bersama Risda. "Harapannya sih ini bisa
terus berkembang dan bisa menjadi mata pencaharian kami," ujar Hanif.
Sumber : kompas
Thursday, December 6, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment